transjabar_ PURWAKARTA – Ketua DPD Partai Golkar Jabar Dedi Mulyadi mengajak ASN untuk meniru gaya Presiden Joko Widodo. Ajakan tersebut terkait dengan keberanian Mantan Wali Kota Solo tersebut dalam mendobrak pakem protokoler.
Kegiatan formal seperti Pidato Kenegaraan di Gedung MPR dan Upacara HUT RI ditampilkan dengan suasana berbeda. Presiden dan para tamu undangan kompak mengenakan pakaian adat. Menurut Dedi, hal ini merupakan ciri pemimpin kultural.
“Presiden Joko Widodo sudah mencontohkan, itu sangat kultural. Bayangkan saja kalau ASN upacara bendera dengan mengenakan jas dan dasi, sementara suhu udaranya 34-37 derajat celcius. Itu pasti panas,” kata Dedi di sela kegiatan Diklatpim XX, Senin (20/8/2018).
Kegiatan tersebut digelar di PKP2A1 Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Formalisme yang kaku selama ini menurut Dedi, telah mematikan inovasi ASN. Akibatnya, aparatur Negara sering terlambat merespon sebuah masalah atas nama aturan birokrasi.
Padahal, tuntunan moral dan nurani mengharuskan mereka untuk segera mengambil keputusan.
“Indonesia itu ditentukan oleh orang, bukan sistem. Karena itu, kita ubah aparatur negara agar memiliki standar moral tinggi untuk peradaban. Pendahulu kita berhasil membangun Candi Borobudur. Itu karya yang abadi sampai saat ini,” ujarnya.
Basis Nilai dalam Pembangunan Semesta
Langkah ini dia yakini dapat melahirkan implikasi jangka panjang. Yakni, terciptanya produk pembangunan yang sarat nilai estetika dalam berbagai aspek. Nilai tersebut tercermin secara fisik maupun bentuk pelayanan kepada masyarakat.
“Membangun itu harus menggunakan estetika. Ada nilai ketuhanan, adat, kultur dan kearifan dalam proses pembangunan. Sehingga produk pembangunan dapat abadi selama ratusan tahun tanpa harus mengeksploitasi alam,” ucapnya tegas.
Manusia dan Alam menurut Dedi merupakan dua unsur pembangunan semesta. Karena itu, maksimalisasi kedua harus digenjot dengan tanpa menegasikan satu sama lain.
“Indonesia masa depan akan melahirkan manusia Indonesia seutuhnya. Syaratnya, tumbuh penghuni peradaban yang beradab dengan tetap menjaga alam dan lingkungan,” katanya.
Sinergitas dengan alam menurut Mantan Bupati Purwakarta tersebut sangat dibutuhkan. Dia mencontohkan, pembangunan ruang kelas di Jawa Barat dan di Papua tidak bisa disamakan.
“Geografisnya berbeda, kulturnya berbeda maka arsitektur bangunannya pun harus berbeda. Bangsa kita kaya akan kultur, tidak boleh disamaratakan atas nama proyek,” tuturnya. (ctr).